Material photovaoltaic,
yang mampu mengkonversikan sinar maatahari menjadi energi listrik, telah
semenjak lama digembar-gemborkan sebagai solusi yang paling menjanjikan
dalam menawarkan kemungkinan pengadaan kebutuhan energi listrik yang
lebih murah di masa depan. Akan tetapi, kenyataannya di lapangan tidak
demikian. Material ini lebih banyak mengubah cahaya matahari yang
diterimanya sebagai panas daripada sebagai energi listrik. Hal ini
berarti, photovoltaic belum mampu menyokong pengadaan energi yang lebih
murah seperti yang diharapkaan. Saat ini, peneliti – peneliti dari
Belanda sedang mengembangkan bahan pelapis (coating) yang mampu menahan
terjadinya transformasi sinar matahari menjadi panas. Bahan coating ini
berbasis teknologi struktur nano yang terispirasi dari mata seekor
ngengat, dimana mampu mengurangi fenomena pemantulan cahaya matahari
sehingga material photovoltaic bisa lebih efisien.
James
Gomez Rivas beserta kolega-koleganya dalam tim Institute AMOLF dari
Eindhoven, mengatakan bahwa teknologi “mata ngengat” mereka mempunyai
kemampuan yang paling baik dalam kemampuannya mengurangi efek pemantulan
cahaya dibandingkan material-material lainnya. Sebagai tambahan, beliau
juga menuturkan bahwa timnya juga telah mengembangkan teknologi
produksi bahan coating yang lebih ekonomis dan ramah lingkungan dimana
juga mampu memberikan hasil coating dengan kepresisian ketebalan
pelapisan yang tinggi.
Kita
tahu bahwa seringkali ngengat mencari cahaya dalam kegelapan, namun
mahluk ini tidak mampu menemukannya dalam jumlah yang cukup. Untuk
memaksimalkan jumlah cahaya yang masuk ke matanya, sehingga membantunya
dalam mencapai penglihatan yang lebih baik, mata ngengat dilengkapi
selaput tipis berskala nano. Hal ini menjadi media yang efektif dimana
indeks penghamburan caahaya dari mata negengat secara berkesinambungan
meningkat ketika cahaya memasuki matanya, hingga cahaya tersebut
mencapai saraf optiknya. Hasilnya, nilai indeks biasnya mendekati 1
pada permukaan bagian atas mata yang pertama kali menerima cahaya dan
mendekati 3,4 pada permukaan bagian bawah. Hal ini berarti hanya sedikit
cahaya yang dipantulkan kembali oleh mata ngengat.
Terisnpirasi
oleh striktur bio ini, Gomez Rivas dn rekan – rekannya meniru pola
kerja selaput mata ngengat tersebut dengan membuat kawat – kawat nano
dengan panjang yang berbeda – beda, dimana kemudian menciptakan sebuah
metamaterial yang mempunyai karakteristik optik yang dapat berubah
secara bertahap berdasarkan fungsi jarak. Tim ini telah melaporkan
sekitar setengah tahun yang lalu, bahwa melalui penelitian tersebut
diketahui terjadi sebuah pengurangan pemantulan cahaya yang signifikan
melebihi sebuah lebar jangkauan cahaya dan pengaruh sudut penembakan
cahaya. Hingga sekarang, hal ini masih menjadi misteri, apakah efek ini
merupakan hasil dari peningkatan transmisi cahaya, atau hanyalah akibat
dari penghamburan dan penyerapan cahaya pada kawat – kawat nano.
Saat
ini, tim melakukan penelitian lanjutan dengan menggunakan batangan nano
gallium phospid (GaP) di atas substrat GaP, kemudian mengukur nilai
transmisi dan pemantulan cahaya secara simultan. Ternyata, penggunaan
metode ini mengakibatkan cahaya yang ditransmisikan lebih dominan
dibandingkan yang diserap maupun yang dipantulkan.
Sumber : materialmetallurgy.blogspot.com