Masih ingatkah dengan lirik lagu ini ?
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Putri jauhari
Putri yang berjasa
Se Indonesia
Ibu kita Kartini
Putri yang suci
Putri yang merdeka
Cita-citanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendeka kaum ibu
Se-Indonesia
Ibu kita Kartini
Penyuluh budi
Penyuluh bangsanya
Karena cintanya
Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia
Pembicaraan tentang Kartini seakan-akan
tidak pernah habis-habisnya. Berbagai penulis di luar dan dalam negeri
menyorotinya dari berbagai aspek dengan berbeda perspektif dan
kepentingan.
Raden Adjeng Kartini atau sebenarnya
lebih tepat disebut Raden Ayu Kartini, (lahir di Jepara, Jawa Tengah, 21
April 1879 – wafat di Rembang, Jawa Tengah, 17 September 1904 pada umur
25 tahun). Raden Adjeng Kartini adalah seseorang dari kalangan priyayi
atau kelas bangsawan Jawa, putri Raden Mas Sosroningrat, bupati Jepara.
Beliau putri R.M. Sosroningrat dari istri pertama, tetapi bukan istri
utama. Kala itu poligami adalah suatu hal yang biasa.
Kartini lahir dari keluarga ningrat Jawa.
Ayahnya, R.M.A.A Sosroningrat, pada mulanya adalah seorang wedana di
Mayong. Ibunya bernama M.A. Ngasirah, putri dari Nyai Haji Siti Aminah
dan Kyai Haji Madirono, seorang guru agama di Telukawur, Jepara.
Peraturan Kolonial waktu itu mengharuskan seorang bupati beristerikan
seorang bangsawan. Karena M.A. Ngasirah bukanlah bangsawan tinggi, maka
ayahnya menikah lagi dengan Raden Ajeng Woerjan (Moerjam), keturunan
langsung Raja Madura. Setelah perkawinan itu, maka ayah Kartini diangkat
menjadi bupati di Jepara menggantikan kedudukan ayah kandung R.A.
Woerjan, R.A.A. Tjitrowikromo.
Kartini adalah anak ke-5 dari 11
bersaudara kandung dan tiri. Dari kesemua saudara sekandung, Kartini
adalah anak perempuan tertua. Beliau adalah keturunan keluarga yang
cerdas. Kakeknya, Pangeran Ario Tjondronegoro IV, diangkat bupati dalam
usia 25 tahun. Kakak Kartini, Sosrokartono, adalah seorang yang pintar
dalam bidang bahasa.
Sampai usia 12 tahun, Kartini
diperbolehkan bersekolah di ELS (Europese Lagere School). Di sini antara
lain Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah usia 12 tahun, ia
harus tinggal di rumah karena sudah bisa dipingit.
Karena Kartini bisa berbahasa Belanda,
maka di rumah ia mulai belajar sendiri dan menulis surat kepada
teman-teman korespondensi yang berasal dari Belanda. Salah satunya
adalah Rosa Abendanon yang banyak mendukungnya. Dari buku-buku, koran,
dan majalah Eropa, Kartini tertarik pada kemajuan berpikir perempuan
Eropa. Timbul keinginannya untuk memajukan perempuan pribumi, dimana
kondisi sosial saat itu perempuan pribumi berada pada status sosial yang
rendah.
Kartini banyak membaca surat kabar
Semarang De Locomotief yang diasuh Pieter Brooshooft, ia juga menerima
leestrommel (paket majalah yang diedarkan toko buku kepada langganan).
Di antaranya terdapat majalah kebudayaan dan ilmu pengetahuan yang cukup
berat, juga ada majalah wanita Belanda De Hollandsche Lelie.
Kartini
pun kemudian beberapa kali mengirimkan tulisannya dan dimuat di De
Hollandsche Lelie. Dari surat-suratnya tampak Kartini membaca apa saja
dengan penuh perhatian, sambil membuat catatan-catatan. Kadang-kadang
Kartini menyebut salah satu karangan atau mengutip beberapa kalimat.
Perhatiannya tidak hanya semata-mata soal emansipasi wanita, tapi juga
masalah sosial umum.
Kartini melihat perjuangan wanita agar memperoleh
kebebasan, otonomi dan persamaan hukum sebagai bagian dari gerakan yang
lebih luas. Di antara buku yang dibaca Kartini sebelum berumur 20,
terdapat judul Max Havelaar dan Surat-Surat Cinta karya Multatuli, yang
pada November 1901 sudah dibacanya dua kali. Lalu De Stille Kraacht
(Kekuatan Gaib) karya Louis Coperus. Kemudian karya Van Eeden yang
bermutu tinggi, karya Augusta de Witt yang sedang-sedang saja,
roman-feminis karya Nyonya Goekoop de-Jong Van Beek dan sebuah roman
anti-perang karangan Berta Von Suttner, Die Waffen Nieder (Letakkan
Senjata). Semuanya berbahasa Belanda.
Oleh orangtuanya, Kartini disuruh menikah
dengan bupati Rembang, K.R.M. Adipati Ario Singgih Djojo Adhiningrat,
yang sudah pernah memiliki tiga istri. Kartini menikah pada tanggal 12
November 1903. Suaminya mengerti keinginan Kartini dan Kartini diberi
kebebasan dan didukung mendirikan sekolah wanita di sebelah timur pintu
gerbang kompleks kantor kabupaten Rembang, atau di sebuah bangunan yang
kini digunakan sebagai Gedung Pramuka.
Anak pertama dan sekaligus terakhirnya,
RM Soesalit, lahir pada tanggal 13 September 1904. Beberapa hari
kemudian, 17 September 1904, Kartini meninggal pada usia 25 tahun.
Kartini dimakamkan di Desa Bulu, Kecamatan Bulu, Rembang.
Berkat kegigihannya Kartini, kemudian
didirikan Sekolah Wanita oleh Yayasan Kartini di Semarang pada 1912, dan
kemudian di Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon dan daerah
lainnya. Nama sekolah tersebut adalah “Sekolah Kartini”. Yayasan Kartini
ini didirikan oleh keluarga Van Deventer, seorang tokoh Politik Etis.
Agama Kartini
Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.
Aspek spiritual keagamaan tokoh emansipasi ini mendapatkan berbagai ragam penilaian dan pandangan, dengan presfektif dan kepentingan yang beragam, bisa dilihat dari sisi kejawen, komunis, Islam, dan Kristiani. Sebagaimana terlihat dari tiga buku yang ditulis tentang Kartini.
- Pertama, Panggil Aku Kartini Saja, karya Pramoedya Ananta Toer (1962, cetak ulang tahun 2000);
- Menemukan Sejarah: Wacana Pergerakan Islam di Indonesia yang ditulis Ahmad Mansur Suryanegara (1995); dan
- Tuhan dan Agama dalam Pergulatan Batin Kartini oleh Th Sumartana (1993). Tulisan ini juga menyinggung artikel St Sunardi, Ginonjing: Emansipasi Kartini pada majalah Kalam (No 21, 2004).
Ada usaha untuk menggambarkan figur
Kartini sebagai wanita yang menganut faham sinkretisme. Kartini
mengatakan bahwa ia anak Budha, dan sebab itu pantang daging. Suatu
waktu ia sakit keras, dokter yang dipanggil tak bisa menyembuhkan. Lalu
datanglah seorang narapidana Cina yang menawarkan bantuan mengobati
Kartini. Ayah Kartini setuju. Ia disuruh minum abu lidi dari sesaji yang
biasa dipersembahkan kepada patung kecil dewa Cina. Maka ia dianggap
sebagai anak dari leluhur Santik-kong dari Welahan. Setelah minum abu
lidi persembahan untuk patung Budha itu, Kartini memang sembuh. Ia
sembuh bukan karena dokter, tapi oleh obat dari ”dukun” Budha. Sejak itu
Kartini merasa sebagai ”anak” Budha dan pantang makan daging.
Pramoedya menulis, ”Bagi Kartini semua
agama sama, sedangkan nilai manusia terletak pada amalnya pada
sesamanya, yaitu masyarakatnya.” Kartini menemukan dan mengutamakan isi
lebih daripada bentuk-bentuk dan syariat-syariat, yaitu kemuliaan
manusia dengan amalnya pada sesama manusia seperti dibacanya dalam
rumusan Multatuli: ”Tugas manusia adalah menjadi Manusia, tidak menjadi
dewa dan juga tidak menjadi setan”.
Menurut Kartini, ”Tolong-menolong dan
tunjang-menunjang, cinta- mencintai, itulah nada dasar segala agama.
Kalau saja pengertian ini dipahami dan dipenuhi, agama akan
menguntungkan kemanusiaan, sebagaimana makna asal dan makna keilahian
daripadanya: karunia.” (hlm 235). Sebelumnya Kartini telah menegaskan,
”Agama yang sesungguhnya adalah kebatinan dan agama itu bisa dipeluk
baik sebagai Nasrani maupun sebagai Islam, dan lain-lain.” (hlm 234)
Di dalam buku Menemukan Sejarah: Wacana
Pergerakan Islam di Indonesia terdapat sebuah bab yang berjudul
‘Pengaruh Al Quran terhadap Perjuangan Kartini’. Pandangan Kartini
tentang Islam disoroti secara positif. ”Segenap perempuan bumiputra
diajaknya kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini bertekad
berjuang, untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan umat
agama lain memandang agama Islam, agama yang patut dihormatinya” (surat
kepada Ny van Kol, 21 Juli 1902.)
Menurut Ahmad Mansur Suryanegara, Ny. Van
Kol berusaha mengajak Kartini beralih kepada agama Kristen. Namun hal
ini ditolak oleh sang putri Bupati Jepara itu. Bahkan ia mengingatkan
zending Protestan agar menghentikan gerakan Kristenisasinya. Jangan
mengajak orang Islam memeluk agama Nasrani.
Sejak lama Kartini resah sebab tidak
mampu mencintai Alquran karena Alquran terlalu suci, tiada boleh
diterjemahkan ke dalam bahasa manapun. Di sini tiada seorang pun tahu
bahasa Arab. Orang di sini diajarkan membaca Alquran, tetapi yang
dibacanya tiada yang ia mengerti. Demikian pengakuan dirinya tentang
kebutaannya terhadap Alquran kepada Stella Zeehandelaar (18 Agustus
1899). Kartini merindukan tafsir Alquran agar dapat dipelajari.
Betapa bahagianya Kartini setelah
mendapat penjelasan kandungan isi Alquran, seperti digambarkannya kepada
EC Abendanon, ”Alangkah bebalnya, bodohnya kami, kami tiada melihat,
tiada tahu, bahwa sepanjang hidup ada gunung kekayaaan di samping kami”.
Dirasakannya ada semacam perintah Allah kepada dirinya, ”Barulah
sekarang Allah berkehendak membuka hatimu, mengucap syukurlah!”
”Sekarang ini kami tiada mencari
penghibur hati pada manusia, kami berpegang teguh teguh di tangan-Nya.
Maka hari gelap gulita pun menjadi terang dan angin ribut pun menjadi
sepoi-sepoi”. Kata habis gelap terbitlah terang selain tercetus 17
Agustus 1902 juga karena pengaruh cahaya yang menerangi lubuknya
hatinya. Minazh zhulumati ilan nur Ini tafsiran Ahmad Mansur
Suryanegara.
Akrab dengan Ajaran Kristen
Di dalam buku yang ditulis Th. Sumartana diakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat (hlm 67). Namun ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurutnya, Kartini menganggap tidak jujur apabila zending memancing di air keruh dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hlm 47). Jadi bagi Th Sumartana, persoalannya bukankah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti oleh banyak ulama.
Di dalam buku yang ditulis Th. Sumartana diakui bahwa Kartini lahir dan meninggal sebagai muslimat (hlm 67). Namun ia memiliki kedekatan dengan ajaran Kristen. Bagaimana pendapatnya tentang zending? Berbeda dengan uraian Ahmad Mansur Suryanegara, Th Sumartana melihat dari sudut pandang lain. Menurutnya, Kartini menganggap tidak jujur apabila zending memancing di air keruh dan mempropagandakan agama Kristen di tengah-tengah orang Jawa yang miskin, penuh penyakit dan bodoh, tanpa lebih dulu mendidik mereka, mengobati dan menolong mereka dari kemiskinan. Iman dan kepercayaan yang benar menurut Kartini hanya bisa dimiliki oleh orang-orang yang sudah benar-benar sadar memilih, dan mereka yang sudah dewasa (hlm 47). Jadi bagi Th Sumartana, persoalannya bukankah masalah mengkristenkan orang Islam, sebagaimana yang disoroti oleh banyak ulama.
Kartini menggambarkan bahwa ada hubungan
yang dekat dan intim antara dirinya dengan Tuhannya. Kedekatannya dengan
Tuhan tersebut pada gilirannya memperoleh gambaran tertentu yang
diambil dari kehidupan keluarganya sendiri, yaitu hubungan antara bapak
dan anak. Ia sendiri amat dekat dengan ayahnya, sekalipun dalam banyak
perkara mereka tidak sependapat, hal itu tidak mengurangi rasa kasih
sayang dan saling menghormati di antara mereka berdua.
Sebab itu ketika Ny van Kol
mengintroduksi ungkapan ”Tuhan sebagai Bapa”, Kartini segera
menyambutnya dengan semangat. Ungkapan tersebut dianggap tepat, sebagai
cetusan pengalaman batinnya sendiri. Dengan demikian, dapat dipahami
jikalau dalam surat-surat Kartini ungkapan Tuhan sebagai Bapa yang penuh
kasih sayang tersebar di sana-sini. Dalam suratnya kepada Ny. van Kol
tanggal 20 Agustus 1902, ia menulis: ”Ibu sangat gembira… beliau ingin
sekali bertemu dengan Nyonya agar dapat mengucapkan terima kasih secara
pribadi kepada Nyonya atas keajaiban yang telah Nyonya ciptakan pada
anak-anaknya; Nyonya telah membuka hati kami untuk menerima Bapa Cinta
Kasih!”
Pada surat lain, Kartini menulis ”Agama
dimaksudkan supaya memberi berkah. Untuk membentuk tali persaudaraan di
antara semua makhluk Allah, berkulit putih dan cokelat. Tidak pandang
pangkat, perempuan atau lelaki, kepercayaan semuanya kita ini anak Bapa
yang Satu itu, Tuhan yang Maha Esa!”
Dari Ny. van Kol pula Kartini belajar
membaca Bibel dan mengerti sebagian dari beberapa prinsip teologis dari
ajaran Kristen. Malahan turut pula mengambil alih beberapa kata yang
punya arti tertentu dalam cerita Al-Kitab, seperti Taman Getsemani,
tempat Yesus berdoa dan menderita sengsara.
Dalam surat kepada Ny. van Kol, Agustus
1901, Kartini menyebutkan bahwa derita neraka yang dialami oleh kaum
perempuan itu disebabkan oleh ajaran Islam yang disampaikan oleh para
guru agama pada saat itu. Agama Islam seolah membela egoisme lelaki.
Menempatkan lelaki dalam hubungan yang amat enak dengan kaum perempuan,
sedangkan kaum perempuan harus menanggungkan segala kesusahannya.
Perkawinan cara Islam yang berlaku pada masa itu, dianggap tidak adil
oleh Kartini. (hlm 41).
Itu bukan dosa, bukan pula aib; ajaran
Islam mengizinkan kaum lelaki kawin dengan empat orang wanita sekaligus.
Meskipun hal ini seribu kali tidak boleh disebut dosa menurut hukum dan
ajaran Islam, selama-lamanya saya tetap menganggapnya dosa. Semua
perbuatan yang menyebabkan sesama manusia menderita, saya anggap sebagai
dosa. Dosa ialah menyakiti makhluk lain; manusia atau binatang. (hlm
41)
Kritik Kartini yang keras terhadap
poligami mengesankan ia anti-Islam. “Tetapi sebetulnya tidak demikian,”
ujar Haji Agus Salim. ”Suara itu haruslah menjadi peringatan kepada kita
bahwa besar utang kita dan berat tanggungan kita akan mengobati
kecelakaan dan menolak bahaya itu. Kepada marhumah yang mengeluarkan
suara itu, tidaklah mengucapkan cela dan nista, melainkan doa
mudah-mudahan diampuni Allah kekurangan pengetahuannya karena
kesempurnaan cintanya kepada bangsanya dan jenisnya.” (hlm 43).
St. Sunardi, dosen Universitas Sanata
Dharma, Yogyakarta mengulas aspek emansipasi yang dilancarkan oleh
Kartini yang mencakup emansipasi kelembagaan dalam bidang pendidikan,
emansipasi keluarga, bahasa, dan olah rasa. Ginonjing adalah nama
gending kegemaran Kartini dan adik-adiknya yang menggambarkan pengalaman
batin yang tidak menentu. Ada suasana muram saat Kartini mengunyah ide
emansipasi di Eropa dan membandingkan dengan keadaan di Jepara saat itu.
”Siapa pun yang terpilih oleh nasib menjadi ibu ruhani untuk melahirkan
yang baru harus menanggung derita. Ini adalah hukum alam siapa yang
melahirkan harus menanggung kesakitan saat melahirkan bayi yang teramat
sangat kami cintai.”
Ternyata kemudian Kartini tidak jadi
belajar ke negeri Belanda. Ia menerima lamaran Bupati Rembang yang sudah
beristri tiga dan punya anak tujuh. Kartini memang manusia biasa dengan
segala keterbatasannya. Namun wacana tentang perempuan yang satu ini
masih tetap hidup, baik di kalangan penganut aliran kepercayaan, Islam,
Protestan, Katholik, dan komunis, dengan berbagai versi dan beraneka
kepentingan.
Dalam catatan Ridwan Saidi, orang-orang
Belanda gagal mengajak Kartini berangkat studi ke negeri Belanda.
Karena gagal, maka mereka menyusupkan ke dalam kehidupan Kartini
seorang gadis kader Zionis bernama Josephine Hartseen. Hartseen,
menurut Ridwan adalah nama keluarga Yahudi.
Siapa yang berperan penting merekatkan
hubungan Kartini dengan para elit Belanda? Adalah Christian Snouck
Hurgronje orang yang mendorong J.H Abendanon agar memberikan perhatian
lebih kepada Kartini bersaudara. Hurgronje adalah sahabat Abendanon
yang dianggap oleh Kartini mengerti soal-soal hukum agama Islam. Atas
saran Hurgronje agar Abendanon memperhatikan Kartini bersaudara,
sampailah pertemuan antara Abendanon dan Kartini di Jepara.
Langkah ini persis seperti yang dilakukan sebelumnya oleh gerakan Freemasonry lewat lembaga ”Dienaren van Indie” (Abdi Hindia) di Batavia yang menjaring anak-anak muda yang mempunyai bakat dan minat untuk memperoleh beasiswa. Kader-kader dari ”Dienaren van Indie” kemudian banyak yang menjadi anggota Theosofi dan Freemasonry.
Surat-surat Kartini kepada Ny. Abendanon,
orang yang dianggap satu-satunya sosok yang boleh tahu soal kehidupan
batinnya, dan surat-surat Kartini lainya para humanis Eropa keturunan
Yahudi di era 1900-an sangat kental nuansa Theosofinya. Seperti ditulis
dalam surat-suratnya, Kartini mengakui ada orang yang mengatakan bahwa
dirinya tanpa sadar sudah masuk kedalam alam pemikiran Theosofi.
Episode akhir hidup Raden Adjeng Kartini
“Kyai, perkenankanlah saya menanyakan, bagaimana hukumnya apabila seorang yang berilmu, namun menyembunyikan ilmunya?“
Pertanyaan ini diajukan Kartini kepada
Kyai Haji Muhammad Sholeh bin Umar, atau lebih dikenal dengan Kyai
Sholeh Darat, ketika berkunjung ke rumah pamannya Pangeran Ario
Hadiningrat, Bupati Demak. Waktu itu sedang berlangsung pengajian
bulanan khusus untuk anggota keluarga dan Kartini ikut mendengarkan
bersama para raden ayu lainnya dari balik tabir. Karena tertarik pada
materi pengajian tentang tafsir Al-Fatihah, setelah selesai Kartini
mendesak pamannya agar bersedia menemaninya untuk menemui Kyai tersebut.
Tertegun mendengar pertanyaan Kartini, Kyai balik bertanya,
“Kyai, selama hidupku baru kali
inilah aku sempat mengerti makna dan arti surat pertama (Al-Fatihah),
dan induk Al-Quran yang isinya begitu indah menggetarkan sanubariku.
Maka bukan buatan rasa syukur hati aku kepada Allah, namun aku heran tak
habis-habisnya, mengapa selama ini para ulama kita melarang keras
penerjemahan dan penafsiran Al-Quran dalam bahasa Jawa. Bukankah
Al-Quran itu justru kitab pimpinan hidup bahagia dan sejahtera bagi
manusia?“
Ibu Kartini muda yang di kala itu belajar
Islam dari seorang guru mengaji, memang telah lama merasa tidak puas
dengan cara mengajar guru itu karena bersifat dogmatis dan
indoktrinatif. Walaupun kakeknya Kyai Haji Madirono dan neneknya Nyai
Haji Aminah dari garis ibunya, M. A. Ngasirah adalah pasangan guru
agama, Kartini merasa belum bisa mencintai agamanya. Betapa tidak?
Beliau hanya diajar bagaimana membaca dan menghapal Al-Qurâ’an dan cara
melakukan shalat, tapi tidak diajarkan terjemahan, apalagi tafsirnya.
Pada waktu itu penjajah Belanda memang memperbolehkan orang mempelajari
Al-Qurâ’an asal jangan diterjemahkan.
Tergugah dengan kritik itu, Kyai Sholeh
Darat kemudian menterjemahkan Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawa dan
menuliskannya dalam sebuah buku berjudul Faidhir Rahman Fit Tafsiril
Quran jilid pertama yang terdiri dari 13 juz, mulai dari surat
Al-Fatihah hingga surat Ibrahim. Buku itu dihadiahkan kepada Ibu Kartini
saat beliau menikah dengan R. M Joyodiningrat, Bupati Rembang pada
tanggal 12 November 1903.
Kyai Sholeh Darat keburu meninggal pada
tanggal 18 Desember 1903 pada saat baru menterjemahkan satu jilid
tersebut. Namun dari informasi Ilahi yang tampaknya terbatas itu pun
sudah cukup membuka pikiran Ibu Kartini mengenai Islam dan
ajaran-ajarannya.
Salah satu hal yang memberikan kesan
mendalam pada beliau adalah ketika membaca tafsir Surat Al-Baqarah. Dari
situlah tercetus kata-kata beliau dalam bahasa Belanda, Door Duisternis
Tot Licht. Ungkapan itu sebenarnya terjemahan bahasa Belanda dari
petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala yaitu Minadz Dzulumaati Ilan Nuur yang
terdapat dalam Surat Al-Baqarah ayat 257. Oleh Armijn Pane, ungkapan
itu diterjemahkan dalam bahasa Melayu atau Indonesia sebagai Habis Gelap Terbitlah Terang.
Padahal jika berangkat dari petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala
tersebut lebih tepat dimaknai sebagai Dari Kegelapan Menuju Cahaya, yang
dapat ditafsirkan sebagai �dari pemikiran yang tak terarah menuju
pemikiran yang dilandasi hidayah Iman dan Islam�.
Petikan firman Allah Subhanahu wa Ta`ala
dalam Surat Al-Baqarah ayat 257 tersebut sebenarnya untuk menggambarkan
kondisi kejiwaan seseorang yang mendapat hidayah Iman dan Islam, di mana
dia mendapatkan informasi yang sangat terang dan masuk dalam kalbunya
mengenai kebenaran yang hakiki dari Tuhannya. Kondisi seperti itulah
yang dialami oleh Ibu Kartini menjelang akhir hidupnya.
Oleh sebab itu penulis membagi perjalanan
hidup Ibu Kartini yang mengalami pencerahan dalam dua fase, yaitu fase
pra dan selama-pasca mendapat hidayah. Momen perubahannya adalah pada
saat beliau menghadiri pengajian tafsir Al-Qur’an yang diberikan oleh
Kyai Sholeh Darat tersebut.
Dalam fase pertama, yaitu fase
pra-hidayah, Ibu Kartini mendapat pencerahan tentang perlunya mendobrak
adat-adat lokal, baik perilaku yang mengistimewakan keturunan ningrat
daripada keturunan rakyat biasa maupun yang mengekang hak-hak wanita
pada umumnya. Menurut beliau, setiap manusia adalah sederajat dan mereka
berhak mendapat perlakuan yang sama. Sedangkan khusus untuk wanita,
mereka memiliki hak misalnya untuk memperoleh pendidikan sekolah, hak
untuk melakukan aktivitas keluar rumah, hak untuk memilih calon suami.
Namun di lain pihak Ibu Kartini juga berusaha untuk menghindar dari
pengaruh budaya Barat walaupun juga mengakui bahwa perlu belajar dari
Barat karena lebih maju dalam bidang pendidikan dan ilmu pengetahuan.
Dalam fase ini Ibu Kartini juga mengajukan kritik dan saran kepada
Pemerintahan Hindia Belanda.
Dalam fase kedua, yaitu selama dan pasca
mendapatkan hidayah, beliau mendapat pencerahan tentang agama yang
dianutnya, yaitu Islam. Bahwa Islam, jika ajaran-ajarannya diikuti
dengan benar sesuai dengan Al-Qur’an, ternyata membawa kehidupan yang
lebih baik dan memiliki citra baik di mata umat agama lain. Ibu Kartini
menulis dalam surat-suratnya, bahwa beliau mengajak segenap perempuan
bumiputra untuk kembali ke jalan Islam. Tidak hanya itu, Kartini
bertekad berjuang untuk mendapatkan rahmat Allah, agar mampu meyakinkan
umat lain memandang agama Islam sebagai agama yang patut dihormati.
“Moga-moga kami mendapat rahmat, dapat bekerja membuat umat agama lain memandang agama Islam patut disukai” [Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902].
Klimaksnya, nur hidayah itu membuatnya
bisa merumuskan arti pentingnya pendidikan untuk wanita, bukan untuk
menyaingi kaum laki-laki seperti yang diyakini oleh kebanyakan pejuang
feminisme dan emansipasi, namun untuk lebih cakap menjalankan
kewajibannya sebagai ibu. Ibu Kartini menulis: “Kami di sini memohon
diusahakan pengajaran dan pendidikan anak perempuan, bukan sekali-kali
karena kami menginginkan anak-anak perempuan itu menjadi saingan
laki-laki dalam perjuangan hidupnya. Tapi karena kami yakin akan
pengaruhnya yang besar sekali bagi kaum wanita, agar wanita lebih cakap
melakukan kewajibannya, kewajiban yang diserahkan alam sendiri ke dalam
tangannya: menjadi ibu, pendidik manusia yang pertama-tama.” [Surat Kartini kepada Prof. Anton dan Nyonya, 4 Oktober 1902].
Pikiran beliau ini mengalami perubahan
bila dibandingkan dengan pada waktu fase sebelum hidayah, yang lebih
mengedepankan keinginan akan bebas, merdeka, dan berdiri sendiri. Ibu
Kartini menulis: “Jika saja masih anak-anak ketika kata-kata
“Emansipasi” belum ada bunyinya, belum berarti lagi bagi pendengaran
saya, karangan dan kitab-kitab tentang kebangunan kaum putri masih jauh
dari angan-angan saja, tetapi dikala itu telah hidup di dalam hati
sanubarai saya satu keinginan yang kian lama kian kuat, ialah keinginan
akan bebas, merdeka, berdiri sendiri.” [Surat Kartini kepada Nona Zeehandelaar, 25 Mei 1899].
Tidak hanya itu, nur hidayah itu juga
bisa menyebabkan perubahan sikap beliau terhadap Barat yang tadinya
dianggap sebagai masyarakat yang paling baik dan dapat dijadikan contoh.
Ibu Kartini menulis, “Sudah lewat masanya, tadinya kami mengira bahwa
masyarakat Eropa itu benar-benar satu-satunya yang paling baik, tiada
taranya. Maafkan kami, tetapi apakah ibu sendiri menganggap masyarakat
Eropa itu sempurna? Dapatkah ibu menyangkal bahwa di balik hal yang
indah dalam masyarakat ibu terdapat banyak hal-hal yang sama sekali
tidak patut disebut sebagai peradaban?” [Surat Kartini kepada Ny.
Abendanon, 27 Oktober 1902].
Dan yang lebih penting lagi, beliau
menjadi sadar terhadap upaya kristenisasi secara terselubung yang
dilakukan oleh teman-temannya. Ibu Kartini menulis, “Bagaimana
pendapatmu tentang Zending, jika bermaksud berbuat baik kepada rakyat
Jawa semata-mata atas dasar cinta kasih, bukan dalam rangka
kristenisasi?… Bagi orang Islam, melepaskan keyakinan sendiri untuk
memeluk agama lain, merupakan dosa yang sebesar-besarnya. Pendek kata,
boleh melakukan Zending, tetapi jangan mengkristenkan orang. Mungkinkah
itu dilakukan?” [Surat Kartini kepada E. E. Abendanon, 31 Januari 1903].
***
Allah Subhanahu wa Ta`ala Maha
Berkehendak dengan menggariskan hidup Ibu Kartini yang terbilang cukup
pendek, 25 tahun, yaitu empat hari setelah melahirkan putranya, R. M.
Soesalit. Dia juga mentakdirkan hidup Kyai Sholeh Darat tidak cukup
panjang untuk menuntaskan buku tafsir Al-Qurâ’an dalam bahasa Jawanya,
sehingga informasi mengenai Al-Qurâ’an yang diterima oleh Ibu Kartini
masih terbatas. “Manusia itu berusaha, Allah-lah yang menentukan” [Surat
Kartini kepada Ny. Ovink Soer, Oktober 1900].
Namun sebenarnya itu sudah cukup untuk
memberikan gambaran bagaimana sebenarnya visi Ibu Kartini sebagai sosok
muslimah, terutama pada masa-masa akhir hidupnya, yaitu fase selama dan
pasca hidayah. Itu pun juga cukup bagi kita untuk bisa memahami mengapa
beliau pada akhirnya merasa ikhlas menjadi isteri keempat Bupati
Rembang, yang kemudian justru mendukung semua cita-cita perjuangannya
dalam pendidikan terhadap kaum wanita, yaitu dengan mendirikan sekolah
wanita di Kabupaten Rembang. Kartini menulis mengenai suaminya,
“Akan lebih banyak lagi yang saya kerjakan untuk bangsa ini bila saya
ada di samping seseorang laki-laki yang cakap, yang saya hormati, yang
mencintai rakyat rendah sebagai saya juga. Lebih banyak, kata saya,
daripada yang dapat kami usahakan sebagai perempuan yang berdiri
sendiri. “ ? [Habis Gelap Terbitlah Terang, hlm. 187].
Dan itu juga cukup untuk dapat kita
bayangkan, bahwa (semoga) Ibu Kartini wafat dalam keadaan husnul
khotimah, setelah sebelumnya diombang-ambingkan oleh berbagai pemikiran
teman-temannya, dan walaupun banyak orang mengulas kumpulan tulisannya
dari berbagai sudut pandang dan agama.
Namun yang juga sangat penting buat kita
muslimah generasi penerusnya adalah pesan-pesan beliau secara tersirat
agar kembali kepada fitrahnya dan selalu berpegang pada Al-Qurâ’an (dan
Hadits). Al-Qurâ’an harus selalu dibaca, dipelajari, dihapalkan,
dimengerti maknanya, dan diamalkan, agar benar-benar meninggalkan
kegelapan menuju cahaya. Ajakan beliau ini lebih mendasar dan tentu
lebih bermanfaat daripada mengedepankan isu-isu tentang feminisme dan
kesetaraan gender, misalnya yang pada dasarnya merupakan konsep Barat.
Lagipula, sikap yang mempercayai bahwa sesuatu yang berasal dari Barat
itu paling baik, justru digugat oleh Ibu Kartini sendiri.
Allah Yang Maha Bijaksana menurunkan
Al-Qurâ’an, di mana salah satu kehendak-Nya adalah justru untuk
mengangkat harkat dan martabat wanita. Pada dasarnya, gerakan emansipasi
perempuan dalam sejarah peradaban manusia sebenarnya dipelopori oleh
risalah yang dibawa oleh Nabi Muhammad Shalallaahu Alaihi wa Sallam
tersebut.
Hingga di sini, marilah kita merenung kembali, apakah kita semua telah mengikuti pesan dan teladan Ibu Kartini tersebut?
Sumber : serbasejarah.wordpress.com