Efek tiga dimensi dalam film menjadi sangat populer beberapa tahun
belakangan ini. Teknologi ini berada di puncak kepopuleran saat film
besutan James Cameron, Avatar, sukses besar di pasaran. Film ini
dianggap sebagai film dengan efek 3D paling fantastis dan hingga kini
belum ada yang bisa mengalahkannya. Sejak saat itu, banyak film yang
dibuat dalam format 3D.
Membuat film 3D dengan performa maksimal memang tidak mudah. Perlu
teknologi memadai dan perlengkapan lengkap untuk menghasilkan sebuah
film yang benar-benar dapat menyuguhkan 3D dengan sempurna. Namun,
kenyataannya, banyak film yang dipaksakan rilis dalam bentuk 3D yang
pada akhirnya tidak memberikan experience apa pun untuk penonton selain perasaan pusing, sakit pada mata, dan ketegangan leher.
Saat ini, film berformat 3D memang masih menjadi favorit penonton
walaupun pada beberapa ajang penghargaan, film-film 3D tersebut tidak
banyak yang masuk nominasi apalagi menjadi pemenang. Hingga saat ini,
hanya Avatar dan Toy Story 3 yang berhasil menunjukkan kualitasnya
sebagai sebuah film yang utuh, yang memiliki kelebihan di berbagai
aspek, tidak hanya pada teknologi 3D-nya saja. Film-film seperti King’s
Speech, Social Network, dan True Grit adalah beberapa contoh film yang
menggunakan format 2D namun memiliki kualitas yang jauh lebih bagus
dibandingkan film berformat 3D.
Berdasarkan polling yang dilakukan di Inggris, kebanyakan penonton
mengakui mereka lebih nyaman menyaksikan film dengan format 2D ketimbang
3D. Selain masalah kenyamanan, perbedaan harga juga ternyata cukup
berpengaruh. Seperti yang sudah kita ketahui, terdapat perbedaan harga
tiket pada film berformat 3D dan 2D. Di Indonesia, perbedaan harga bisa
mencapai Rp15.000—RP20.000, sedangkan di Inggris, perbedaannya bisa
mencapai £15. Masalah muncul ketika sebuah film yang “berjubah” 3D pada
kenyataannya tidak menyajikan tontonan 3D yang memuaskan (dan itu
terjadi di banyak film yang rilis belakangan ini). Razzies, penghargaan
yang diberikan kepada film-film terburuk menambahkan satu kategori di
antara deretan nominasinya, The Worst Eye-Gouing Misuse Nominees. The
Last Airbender, Clash of the Titans, Catrs & Dogs: The Revenge of
Kitty Galore, Gulliver’s Travels, Resident Evil: Afterlife, dan Yogi
Bear adalah film-film yang masuk ke kategori ini.
Di Inggris, 3D merupakan teknologi populer yang dihindari banyak
orang. Ini disebabkan efek samping yang dirasakan penonton saat
menggunakan kacamata 3D dan menyaksikan tayangannya: lelah pada mata,
pusing, mual, dan tegang pada otot leher. Mata dipaksa untuk lebih fokus
dan melihat tayangan dengan jarak yang diperdekat. Keluhan serupa juga
datang dari orang-orang berkacamata yang mengaku bahwa kacamata 3D
benar-benar tidak membuat mereka menikmati film sepenuhnya. Jika film
yang bersangkutan memiliki efek yang setimpal dengan gangguan yang
diterima, mungkin penderitaan tersebut akan lebih terbayar. Namun,
bagaimana jika sepanjang film, Anda hanya menahan pusing namun efek yang
diharapkan tidak kunjung datang? Itu dapat Anda alami jika Anda
menyaksikan film yang dipaksakan 3D. Kebanyakan adalah film yang dibuat
dengan perlengkapan 2D namun di-convert menjadi 3D sebagai sentuhan
akhir. Hasilnya, film-film tersebut akan terlihat lebih gelap dan
terkesan kotor. Bagaimana dengan efek 3Dnya sendiri? Hampir tidak
terasa.
Salah satu hal yang bisa Anda lakukan adalah menyaring tiap film 3D
yang akan/sedang tayang. Jangan berpikir bahwa setiap 3D akan memberikan
pengalaman yang menyenangkan. Anda bisa bertanya kepada teman yang
sudah menyaksikan film tersebut atau membaca review film yang
bersangkutan sebelum memutuskan untuk merogoh kocek lebih dalam. Anda
bisa menjadikan Jagat Review sebagai salah satu website yang
memberikan pembahasan lengkap mengenai film-film asing terbaru yang akan
tayang di Indonesia. Tentunya, Anda tidak mau membayar mahal namun
hanya mendapatkan rasa tidak nyaman selama film berlangsung, bukan? Be wise, be entertained, be happy!
Sumber : www.jagatreview.com
Sumber : www.jagatreview.com